Selain
proses pembuatannya yang rumit dan selalu disertai dengan serangkaian ritual
khusus, batik
juga mengandung filosofi tinggi yang terungkap dari motifnya. Hal ini terkait
dengan sejarah penciptaan motif batik sendiri yang biasanya diciptakan oleh
sinuwun, permaisuri atau putri-putri kraton yang semuanya mengandung falsafah
hidup tersendiri bagi pemakainya.
Sebagai raja
Jawa yang tentu saja menguasai seni, maka keadaan tempat tersebut mengilhaminya
menciptakan pola batik
lereng atau parang, yang merupakan ciri ageman Mataram yang berbeda dengan pola
batik sebelumnya. Karena penciptanya adalah raja pendiri kerajaan Mataram, maka
oleh keturunannya, pola-pola parang tersebut hanya boleh dikenakan oleh raja
dan keturunannya di lingkungan istana.Motif Parang Rusak misalnya. Motif ini
diciptakan oleh Panembahan Senopati, pendiri Keraton Mataram. Setelah
memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Mataram, Senopati sering bertapa di
sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa yang dipenuhi oleh jajaran pegunungan
seribu yang tampak seperti pereng (tebing) berbaris. Akhirnya, ia menamai
tempat bertapanya dengan pereng yang kemudian berubah menjadi parang. Di salah
satu tempat tersebut ada bagian yang terdiri dari tebing-tebing atau pereng
yang rusak karena deburan ombak laut selatan sehingga lahirlah ilham untuk
menciptakan motif batik
yang kemudian diberi nama Parang Rusak.
Semenjak
perjanjian Giyanti tahun 1755 yang melahirkan Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta, segala macam tata adibusana termasuk di dalamnya adalah batik,
diserahkan sepenuhnya oleh Keraton Surakarta kepada Keraton Yogyakarta. Hal
inilah yang kemudian menjadikan Keraton Yogyakarta menjadi kiblat perkembangan
budaya, termasuk pula khazanah batik.
Kalaupun batik
di Keraton Surakarta mengalami beragam inovasi, namun sebenarnya motif pakemnya
tetap bersumber pada motif batik Keraton Yogyakarta. Ketika tahun 1813, muncul
Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta akibat persengketaan Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat dan Letnan Gubernur Inggris Thomas Stamford Raffles,
perpecahan itu ternyata tidak melahirkan perbedaan mencolok pada perkembangan
motif batik
tlatah tersebut.
Menurut KRAy
SM Anglingkusumo, menantu KGPAA Paku Alam VIII, motif-motif larangan tersebut
diizinkan memasuki tlatah Keraton Puro Pakualaman, Kasultanan Surakarta maupun
Mangkunegaran. Para raja dan kerabat ketiga kraton tersebut berhak mengenakan batik
parang rusak barong sebab sama-sama masih keturunan Panembahan Senopati.
batik
tradisional di lingkungan Kasultanan Yogyakarta mempunyai ciri khas dalam
tampilan warna dasar putih yang mencolok bersih. Pola geometri Keraton
Kasultanan Yogyakarta sangat khas, besar-besar, dan sebagian diantaranya
diperkaya dengan parang dan nitik. Sementara itu, batik
di Puro Pakualaman merupakan perpaduan antara pola batik
Keraton KasultananYogyakarta dan warna batik Keraton Surakarta.
0 komentar:
Posting Komentar